Sampaikan Kritikan Lewat Lagu, .Feast Luncurkan Tarian Penghancur Raya

ZAGS –  Feast perkenalkan single baru Tarian Penghancur Raya ke hadapan para pendengar musik. Sebab, sejak dirilis hari ini, tepatnya 8 November 2019, karya Baskara Putra dan kolega langsung menjadi trending topic di jagat maya Twitter. Tentu saja, ada banyak hal menarik untuk dibahas bila menyimak lirik lagu dan visual single baru ini.

Perlu diingat, kehadiran .Feast dalam blantika musik tanah air ini menjadi semacam antitesis di tengah kejenuhan pendengar akan lagu-lagu, yang sering orang-orang bilang, bertemakan "senja dan kopi". 

.Feast muncul membawa semangat baru melalui musik dan lirik-lirik yang sarat akan kritik sosial. Misalnya, dalam lagu "Peradaban", mereka menyisipkan kalimat "tempat ibadah terbakar lagi", yang memang kontekstual bila merujuk pada bom Surabaya pada 2018 lalu, atau penembakan di Selandia Baru awal 2019 lalu.

Atau, masih dalam lagu "Peradaban", mereka juga menyisipkan lirik "hidup tak sependek penis laki-laki. Jangan coba atur gaya berpakaian kami." Meski multitafsir, penggalan lirik itu juga bisa diartikan sebagai orang-orang yang sering menyalahkan gaya berpakaian perempuan ketika sang hawa mendapatkan pelecehan seksual. 

Kemampuan memasukkan gejala sosial yang dikemas dalam lirik multitafsir serta musik yang segar inilah barangkali membuat .Feast cepat mendapat tempat, sehingga tak heran bila karya mereka ditunggu-tunggu, untuk melihat lagi, hal baru apa yang akan mereka suguhkan ke pendengarnya.
Tarian Penghancur Raya

Single "Tarian Penghancur Raya" ini diambil dari album .Feast berjudul “Membangun dan Menghancurkan”, dengan Baskara Putra sebagai penulis liriknya. Dalam visual video official lirik yang dipublikasikan oleh Sun Eater ini menampilkan seorang penari.

Menjelang akhir lagu, sang penari melepaskan mahkotanya dan mengambil masker karena ruangnya dipenuhi asap. Setelah mengambil kembali mahkotanya, barulah sang penari kembali melakukan ritual tariannya.

Dalam makna yang tersirat dalam visual itu, tak butuh waktu lama untuk kita mengaitkannya dengan kritik .Feast terhadap kabut asap yang hampir melumpuhkan Riau dan Kalimantan tempo hari, seperti yang kita saksikan dalam headline-headline pemberitaan. 

Dikutip dari Tirto.id, kritik yang dilancarkan .Feast lebih dari itu, yakni mengkritik sikap penolakan salah satu ormas terhadap gelaran Festival Gandrung Sewu di Banyuwangi pada 2018 lalu. Dalam teks yang tercantum dalam video, .Feast menuliskan: "Pada tahun 2018, Tari Gandrung dari Banyuwangi dipermasalahkan oleh beberapa kelompok masyarakat tertentu. Ia adalah satu dari sekian banyak warisan asli kebudayaan Indonesia yang terancam keberadaannya karena satu dan lain hal." 

Dari sana, .Feast mencoba mengingatkan kembali bahwa tidak hanya lingkungan saja yang terancam eksistensinya, tetapi juga budaya lokal, seperti tari-tarian yang menjadi ciri khas nusantara. Secara musikal, komposisi aransemen yang mereka suguhkan ini cukup baru bila mencerna karya-karya terdahulu karena memasukkan unsur nuansa tradisional Jawa, yang ditambah dengan distorsi yang kadang muncul dalam beberapa bagian. Lagu bertempo pelan ini menjadi kian menyala karena disusupi dengan cara bernyanyi yang cepat dengan lirik yang padat. 

.Feast adalah grup musik yang beranggotakan Baskara Putra, Adnan Satyanugraha Putra, Dicky Renanda Putra, Fadli Fikriawan Wibowo dan Adrianus Aristo Haryo. Sepanjang berkarier mereka sudah merilis dua album Multiverses (2017) dan Beberapa Orang Memaafkan (2018).

Foto        : Twitter “@listentofeast”
Editor         : Galih Bayu Aji
Sumber     : Tirto.id
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Recent Posts

Label