Anak Broken Home : Waspada Mencari Pasangan Hingga Tidak Ingin Menikah


ZAGS — Keluarga yang tidak harmonis bukanlah keinginan semua orang. Namun, jika perceraian tidak bisa dihindari apa yang bisa dilakukan. Bagaimana nasib dari anak korban perceraian atau broken home? Ada yang mengaku lebih berhati-hati dalam mencari pasangan. Ada pula yang tak ingin menikah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dicatat bahwa sepanjang tahun 2013-2016 jumlah talak dan cerai di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2013 jumlah talak dan cerai sebanyak 324.247. tahun 2014, 344.237. tahun 2015, 347.256. Dan ditahun 2016 jumlahnya mencapai 365.633.

Salah satu faktor penyebab perceraian yang sering terjadi adalah karena perbedaan pendapat. 
Pengakuan Nawa,22 warga Jebres mengaku orang tuanya sering cekcok dan berujung pada perceraian.

“Dulu waktu saya kecil orang tua saya sering cekcok. Sering bertengkar. Beda pendapat. Saya ingat itu waktu saya SD. Saya pernah dikunci di kamar mandi saat mereka bertengkar, entah apa penyebabnya saya lupa. Tapi saya ingat betul saya ketakutan sekali waktu itu,” kata dia pada (28/8/2019).

Ia mengaku bahwa orang tua sang ayah tak merestui hubungan orang tuanya. Itu yang menyebabkan ibunya tak betah. Lantaran disia-siakan oleh mertua. Dan mungkin dari situ pertengkaran demi pertengkaran berlangsung. Hingga akhirnya mereka benar-benar berpisah.

“Awalnya ya pasti sedih. Tapi ya mau bagaimana lagi itu sudah keptusan mereka,” tambahnya.
Ia juga mengaku trauma terhadap kejadian yang telah menimpanya. Hingga membuatnya berpikir untuk tidak menikah.

“Saya tidak tahu nanti menikah atau tidak. Sepertinya tidak. Kan kalau menikah itu pada dasarnya mencari pasangan untuk teman hidup. Karena anak-anaknya pasti ninggalin. Kayaknya saya enggak pengen. Punya anak saja tetapi enggak menikah,” tandasnya sambil tertawa.

Ada berbagai faktor yang dapat menjadi penyebab perceraian.

Terburu-buru saat menikah. Tanpa mengenali lebih dalam sifat-sifat dari pasangannya. Dan hanya berpikiran jangka pendek. Lalu membuat sebuah keputusan.

Tidak jujur dalam hubungan rumah tangga. Jika salah satu pasangan sering berbohon, maka rasa percaya dari pasangan lama kelamaan akan hilang.

Tidak mampu membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga.

Menghindari  menyelesaikan masalah. Tidak mau segera menyelesaikan masalah, sehingga membuat masalah semakin bertambah. Dan timbul pertengkaran.

Faktor finansial. Faktor ini sering kali menjadi penyebab retaknya hubungan suami isteri. Karena sang suami tak dapat menafkahi isteri. Atau isteri hanya bekerja sendiri. 

Kekerasan dalam rumah tangga. Saat tertimpa banyak masalah dalam suatu hubungan, tak bisa dipungkiri tingkat emosional  pun meningkat. Sehingga terjadilah perceraian dari amarah yang ditimbulkan.

Perbedaan pendapat. Dalam sebuah hubungan yang sehat, seharusnya mampu menghagai perbedaan pendapat. Dan mencari jalan tengah untuk masalah tersebut. 

Tidak adanya restu dari orang tua saat menikah. Jika hal ini terjadi tidak menutup kemungkinan orang tua akan terus ikut campur dalam hubungan.

Cerita lain juga dilontarkan oleh Ara,21, warga Blitar mengaku dirinya down saat orang tuanya bercerai.
“Awalnya saya down banget. Karena terbiasan bersama. Tiba-tiba berpisah. Dan ditambah lagi kedua belah pihak yang tidak akur. Saya tambah stres,” kata dia.

Ia merasa geraknya dibatasi karena orang tuanya menuruti egonya masing-masing. Ia yang saat itu masih kecil hanya mengikuti saja. Dan tidak tahu harus berbuat apa.

Tetapi seiring berjalannya waktu dan masing-masing orang tuanya menikah lagi, sudah mulai memahami. Bahwasannya bermusuhan itu tidak baik jika diteruskan. 

Ia mengaku orang tuanya bercerai lantaran berbeda kepribadian. Ia berharap yang terbaik untuk kedepannya. 

“Ya, siapa ya yang ingin berpisah. Dan itu juga berpengaruh terhadap psikis anak. Untung saja saya dan saudara-saudara saya kuat. Tetapi kalau hatinya kecil bisa gila dengan keadaan itu,” tambahnya.
Ia juga berharap nanti jika menikah, menemukan sosok yang pengertian. Dan mau diajak susah senang bersama. 

“Cukup saya saja yang mengalami kejadian ini. Anak saya jangan. Saya tetap ingin menikah. Tetapi ya lebih berhati-hati. Terlebih dengan kejadian tersebut membuat saya waspada sebelum akhirnya memutuskan. Daripada menyesal,” tandasnya. 

Keluarga yang broken home  dapat berdampak buruk terhadap anak.

Anak akan cenderung lebih emosional. Dan memiliki pikiran yang negatif.

Anak yang stres biasanya membuat prestasinya menurun. Dan kecemasan yang tinggi membuat sang anak cenderung sulit untuk berinteraksi dengan orang sekitar.

Selain itu, anak juga akan merasa kehilangan sosok panutan. Nilai-nilai dalam keluarga akan dirasa hilang. 

Hal tersebut bisa membuat sang anak merasa kesepian, frustasi, dan lebih sensitif. Gejolak batin yang ada dalam diri anak dapat membuatnya berpotensi terserang penyakit kejiwaan.



Penulis : Ardea Ningtias Yuliawati
Foto : riliv.co
Sumber : BPS, Jeda,id
Share:

Related Posts:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

10275

Arsip Blog